Tidaksedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. (dipetik dari ulasan Kitab Al-Hikam karya Syeikh Ibn Athaillah a.s Sekandri..m/s:258
Dalam kehidupan, tidak setiap harapan manusia dapat tercapai. Kadang berhasil, kadang gagal. Kadang sukses, kadang kurang beruntung. Umumnya orang akan kecewa bila harapan atau keinginannya tak tercapai. Tapi bagi seorang muslim, sebenarnya bagaimana sikap terbaik ketika harapannya tak tercapai? Kalam Hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya, al-Hikam, menyatakan رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ Artinya, “Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya; dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.” Menurut Imam Ibnu Athaillah, anugerah yang sebenarnya dan patut disyukuri adalah anugerah memeluk agama Islam sebagai nikmat yang sangat hakiki. Segala pemberian yang Allah berikan tidak ada yang dapat menandingi anugerah keislaman seseorang. Orang yang masih memeluk agama Islam berarti masih menikmati anugerah yang sangat besar dari Allah. Dengan kalam hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah seakan hendak menyampaikan, terkadang Allah memberikan sesuatu yang dianggap baik menurut pikiran manusia, namun tanpa disadari pemberian itu sebenarnya menghalangi dirinya dari taufiq dan hidayah untuk semakin dekat kepada-Nya. Apalah artinya terpenuhi semua harapan, sementara cahaya Islam dan iman di hati justru padam? Namun, yang sering terjadi adalah manusia sulit memahami hakikat anugerah yang diberikan Allah. Ketika harapannya tidak sesuai kenyataan, betapa banyak manusia yang sering menyalahkan takdir, seolah Allah tidak adil kepadanya. Padahal, jika mau memahami, semestinya ia akan sadar bahwa semua anugerah yang telah Allah berikan maupun yang Allah halangi darinya merupakan kebaikan yang hakiki baginya. Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ Artinya, “Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pecegahan-Nya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah yang sebenarnya.” Penjelasan Ibnu Ajibah Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya Îqâdhul Himam mengibaratkan pemberian Allah kepada manusia dengan orang yang diundang ke suatu jamuan makanan di tempat gelap tanpa lampu. Makanan yang tersedia sangat banyak, namun bisakah saat itu ia mengetahui makanan mana yang akan diambil dan yang akan dimakan? Begitulah pemberian Allah kepada manusia, ketika diberi kecukupan di satu sisi, ia akan selalu merasa kekurangan di sisi lainnya. Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam Syarhu Matnil Hikam, [Bairut, Darul Ma’rifah 2000], halaman 97. Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Artinya, “Boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian; dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” QS al-Baqarah216 Karenanya, orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat ma’rifat billâh, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah. Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا Artinya, “Orang-orang ârifbillâh lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan dan seakan menjadi nikmat yang sangat besar. Namun, semua itu justru menakutkan bagi orang-orang ârifbillâh. Kenapa demikian? Sebab, bagi mereka dalam keadaan sempit orang yang dekat kepada Allah akan lebih tenang dan lebih tentram menjalankan semua perintah-Nya. Sedangkan dalam keadaan semua keinginan terpenuhi, orang akan berpotensi sombong dan tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Dalam menyikapi kelapangan dan kesempitan hidup, Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ الْفَرْحِ، وَالْقَبْضُ لَاحَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ Artinya, “Dalam kelapangan hidup, nafsu manusia ikut ambil bagian menikmatinya, sebab adanya rasa gembira; sedangkan dalam kondisi sempit, nafsu manusia tidak ikut ambil bagian merasakannya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Begitulah kelapangan, ia bisa menjadi faktor yang menumbuhkan kecenderungan nafsu untuk melupakan Allah yang memberikan anugerah. Orang yang lapang cenderung memanjakan dirinya dengan segala sesuatu yang diinginkan. Sikap memanjakan diri inilah yang terkadang menjadi penyebab orang lalai. Seolah, saat demikian kewajiban agama menjadi beban dan ibadah pun dilakukan dengan hati gundah tidak ikhlas. Berbeda ketika dalam kondisi sempit atau kesusahan. Banyak hal yang tertahan dan tidak bisa didapatkan. Kondisi penuh keterbatasan menjadikan manusia tidak dapat memanjakan dirinya. Karenanya, tidak ada godaan untuk lalai memanjakan diri dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan tanpa beban. Bagaimana mungkin bisa memanjakan diri, sedangkan ia dalam keadaan yang kurang? Dalam kesempatan lain Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa, yang menginginkan manisan atau permen beracun. Ia berkata فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِيُّ لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ، فَالصَّبِي يَبْكِي عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ، وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ Artinya, “Ketika Si Anak mengambil makanan beracun, Sang Ayah menolaknya; maka Si Anak menangisinya karena ketidaktahuannya, sedangkan Sang Ayah menolaknya secara paksa karena tahu ada racunnya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 100. Begitulah gambaran hubungan manusia dengan Allah swt berkaitan dengan anugerah dan harapan. Manusia tak ubahnya seperti anak kecil yang masih lugu dan sangat polos, sementara Allah menghalangi berbagai harapan dan keinginannya karena bahaya yang tidak diketahuinya. Penilaian akhir yang paling baik dalam hidup adalah ketika sesuai dengan kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yang manusia wacanakan, justru merupakan keburukan yang tidak Allah inginkan. Tidak ada hal yang lebih baik atas semua kejadian yang menimpa manusia melainkan dengan mempelajari dan menggali hikmah demi meraih keridhaan-Nya. Sebab setiap ketentuan Allah selalu beriringan dengan kebijaksanaan-Nya. Syair Imam al-Bushiri Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah yang kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Syekh Ibnu Ajibah di atas selaras dengan syair Imam al-Bushiri dalam al-Burdah كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً *** مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السَّمَّ فِى الدَّسَمِ Artinya, “Betapa banyak kenikmatan justru berujung pada kematian, karena orang tidak menyadari bahaya racun yang terkandung di dalamnya.” Wallâhu a’lam. Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.Nabipun menasehati, “Adapun jika engkau telah sampai di rumah, maka kumpulilah istrimu, kumpulilah istrimu” (HR. Al-Bukhari no. 2097 dan Muslim no. 1089). Demikianlah artikel daftar kumpulan hadits tentang jodoh lengkap bahasa arab dan artinya. Semoga hadist hadits diatas bermanfaat dan bisa menjadi pedoman dalam memahami makna jodoh dan
TAKDIR JODOH – Jodoh adalah salah satu misteri yang selalu dipertanyakan oleh umat manusia. Dan jika seseorang bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang lain. Maka akan terciptalah berbagai jawaban yang berbeda dari mereka. Misalnya saja jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang belum mempunyai tambatan hati. Mungkin mereka akan menjawab tentang jodoh dengan kriteria sempurna. Misalnya jodoh yang tampan, mapan, dan shaleh/shalihah, punya beberapa hafalan, mempunyai keturunan atau nasab yang baik. Dan banyak lagi yang lahir dari angannya. Berbeda lagi jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang sudah mempunyai seseorang redpacar, tambatan hati. Mereka menjawabnya akan lebih condong kepada karakter seseorang yang diyakini mereka akan menjadi pendampingnya kelak. Mereka tidak peduli lagi akan kelebihan dan kekurangan yang sebelumnya dimiliki oleh tambatan hatinya itu, yang jelas seperti dia. Jawaban ini juga akan berbeda lagi jika kamu menanyakan tentang jodoh kepada seseorang yang sudah menikah atau bahkan mempunyai momongan. Mereka akan menjawabnya dengan sangat sederhana, seperti yang penting seorang muslim, shalih/shalihah, serta mampu berperan dalam keluarga. Seperti itulah jawaban-jawaban yang akan muncul jika kita bertanya tentang jodoh. Beragam jawaban akan muncul dan tentunya itu tergantung dengan persepsi masing-masing orang yang dipunyai. Mereka hanya berusaha memberikan jawaban secara subjektif sesuai dengan apa yang mereka tahu. Berbicara tentang Jodoh, bagaimana cara pandang Islam dalam mengungkapkan rahasia di dalamnya? Apakah Jodoh merupakan takdir yang telah digariskan? Tetapi kenapa Rasulullah juga memberikan kita pilihan untuk memilih jodoh yang kita inginkan? Kenapa begitu banyak nasehat yang menyarankan agar kita lebih berhati-hati dalam memilih calon pendamping kita? Dikarenakan hal itu pula, masih banyak manusia yang khawatir tentang jodohnya. Malah banyak yang dikarenakan hal tersebut malah memilih jalan setan seperti pacaran sebagai bentuk “ikhtiar” tentang jodoh. Padahal hal tersebut benar-benar salah. Dilain pihak, ada yang menghindari hal tersebut. Namun sangat sedikit upaya dalam ber”ikhtiar” yang benar sehingga pada umur yang semakin bertambah, dia tidak kunjung mendapatkan jodoh. Kenapa hal ini terjadi? Sebenarnya jodoh itu pilihan atau takdir sih? Padahal sesungguhnya Allah telah membocorkan persoalan tentang jodoh ini kepada kita melalui ayatnya Al-Qur’an Surat An Nur ayat 26 yang berbunyi Artinya Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Qs. An Nur26 Jika melihat dari potongan ayat Al-Qur’an diatas dapat dikatakan bahwa Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak baik juga untuk wanita yang tidak baik. Sungguh merupakan sebuah rahasia yang sebenarnya sudah lama terungkap jika kita mau mengkaji agama kita lebih dalam. Karena dengan hal tersebut sesungguhnya kita sekarang dapat meyakini, memahami, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalam ayat tersebut. Bagaimana? Tidak sulit bukan jika kita ingin memahami jodoh dari kacamata kita sebagai seorang muslim. Di dalam agama Islam, jodoh itu berarti seseorang yang telah tertulis namanya di Lauh Mahfuz bahkan jauh sebelum kita manusia diciptakan ke dunia dimana dia akan ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita di dunia ini. Namun bukannya kita tidak bisa memilih tentang jodoh karena yang tertulis di Lauh Mahfudz itu merupakan banyak pilihan jalan. Dan itu sebenarnya merupaka hasil dari sikap dan akhlaq kita dalam menanggapi kehidupan yang sementara ini. Jadi jodoh merupakan hal telah tertulis di Lauh Mahfudz,namun kita bisa memilih dengan siapakah kita akan nanti berjodoh. Tentunya pengaruh ahklaq dan sikap kita di dunia akan menentukannya. Seperti soal rejeki yang dimana hasilnya adalah merupakan faktor dari setiap usaha, ikhtiar, dan doa kita kepada Allah. Begitu juga dampak dari rezeki tersebut dimana itu juga terpengaruh dari jalan kita dalam memilih apakah rezeki yang kita ambil merupakan rezeki halal atau haram. Jadi apakah kamu masih bingung dalam memilih atau mendapatkan jodoh? Karena sesungguhnya jodoh yang akan datang kepadamu merupakan hasil dari setiap doa dan usaha kamu. Jika ingin mendapatkan jodoh yang membawa kamu kepada kebahagiaan dan keberkahan dari Allah, maka dapatkanlah dia dengan berusaha dulu mendapatkan cinta Allah. Rahasia Memilih Jodoh Dalam Islam Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” HR Bukhari dan Muslim. Dikatakan disini bahwa seorang laki-laki muslim dalam memilih seorang wanita yang baik untuk dijadikan istrinya aka nada 4 faktor yang harus diperhatikan. Yaitu Agama, martabat, harta, dan kecantikan. Dan ketahuilah bahwa Rasulullah mengharuskan kita untuk memilih agama dan kualitasnya terlebih dahulu, Baru tiga faktor yang lain bisa menyusul. Begitu pula dengan pihak wanita. Wanita dalam menerima pinangan laki-laki atau memilih calon pemimpin keluarganya kelak juga harus memperhatikan hal diatas. Ketaqwaan calon pria yang ingin menikahinya harus menjadi pilihan utama. Dan tentunya sebenarnya seseorang yang datang kepadamu untuk menikahi kamu atau seseorang yang akan kau nikahi merupakan cerminan daripada kamu itu sendiri. Jadi jika kamu ingin mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada seseorang yang telah datang kepadamu, kamu bisa ikhtiar dengan mengubah setiap akhlaq untuk lebih baik dan berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan pasangan yang baik agamanya. Yang sanggup membimbing kita kepada surga Allah. Hubungan Jodoh dan Cerai Mungkin akan banyak yang berpikir, jika seseorang yang kita nikahi, lama mendampingi kita, merupakan cerminan dari diri kita sendiri, dan bisa katakana dia adalah jodoh kita. Kenapa ada banyak orang di dunia ini yang akhirnya memutuskan untuk bercerai atau berpisah? Dari sini kita kembali kepada yang namanya takdir. Bahwa sebenarnya di Lauh Mahfudz kita telah dituliskan banyak pilihan tentang jalan hidup apa yang akan kita jalani. Itulah hak manusia yang kita miliki. Yaitu kita mempunyai kewajiban dalam “memilih” tentang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam hidup kita. Tentunya setiap pilihan tersebut sebenarnya memang telah tertulis dan ada jalan sendiri-sendiri termasuk urusan jodoh. Rasulullah telah memberikan kita petunjuk dan juga nasihat untuk memilih pasangan hidup. Namun jika kita masih memilih pasangan hidup kita yang tidak sesuai dengan petunjuk tersebut, sesungguhnya kita sedang berlarut diri daripada nafsu dan ego. Maka dari itu jika pasangan hidup kita malah membawa kita menjauh diri dari Allah, jangan salahkan Allah yang telah menuliskan takdir. Karena semua itu sebenarnya sudah sesuai daripada apa yang telah kamu pilih sebelumnya. Apa dengan cara yang baik dan halal sesuai Islam atau dengan cara maksiat. Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun di balik kehendak-Nya tadi, tidak kah kita takut Allah berkata.. “Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti” Jadi, kembali kepada diri masing-masing ya kawan dalam mendapatkan jodoh. Nah itulah Takdir Jodoh menurut pandangan Islam. Semoga tulisan ini dapat membuka mata hati kamu agar tidak galau lagi dan juga bersemangat menjemput pasangan dengan penuh keridloannya. Aamiin WaallahualamJawablah kata al-Buthi, memang benar kata “wirid” tak pernah ada dalam ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabawi. Pernyataan macam itu memang betul. Beribadah atau baca kadang malah diniati agar cepat dapat jodoh, cepet sukses bisnisnya. Atau malah ingin cepat kaya. Ibnu Athaillah sebenarnya tidak sedang memberi peluang bagi kita untuk Tidak sedikit dari kita kerap berburuk sangka kepada Allah. Kita sering mengira bahwa Allah mengabaikan hamba-Nya hanya karena bencana dan derita yang kita alami. Padahal ujian dan cobaan yang kemudian “memaksa” kita untuk bermunajat kepada-Nya adalah cara Allah memilih hamba-Nya. Hal ini disinggung dengan jelas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut أطلق لسانك بالطلب فأعلم أنه يريد أن يعطيكArtinya, “Ketika Allah SWT menggerakkan lidahmu melalui sebuah doa, ketahuilah bahwa Dia ingin memberikan karunia-Nya kepadamu.”Dari sini kita dapat memahami bahwa orang-orang yang berdoa dan bermunajat merupakan hamba-hamba pilihan Allah. Ketika Allah menjatuhkan pilihan-Nya kepada kita atas sebuah cobaan, pada hakikatnya Dia mengasihi kita yang kemudian memperkenankan kita untuk bermunajat kepada-Nya. Demikian uraian Syekh Ibnu Abbad atas hikmah أنس بن مالك رضى الله عنه قال قال رسول الله إذا أحب الله عبدا صب عليه البلاء صبا وسحه عليه سحا فإذا دعا قالت الملائكة صوت معروف وقال جبريل يا رب عبدك فلان اقض حاجته فيقول الله "دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته" فإذا قال يا رب قال الله تعالى لبيك عبدى وسعديك لاتدعونى بشئ الا استجبت لك ولا تسألنى شيئا الا أعطيتك إما أن إعجل لك ما سألت وإما أن أدخر لك عندى أفضل منه وإما أن أدفع عنك من البلاء ما هو أعظم من “Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila Allah jatuh cinta kepada salah seorang hamba-Nya, maka Allah mengucurkan dan mengalirkan ujian kepadanya. Kalau ia lantas bermunajat, malaikat bergumam, suara orang ini tak asing.’ Lalu Jibril memberanikan diri, Ya Allah, itu suara si fulan, hamba-Mu. Penuhilah permintaannya.’ Allah menjawab, Para malaikat, biarkanlah ia. Aku senang mendengar suara munajatnya.’ Kalau ia menyeru, Tuhanku.’ Allah menjawab, Labbaik wa sadaik aku sambut panggilanmu wahai kekasih-Ku. Tiada satupun yang kau doakan, melainkan pasti Kukabulkan. Tiada satupun permintaanmu, melainkan pasti Kuberikan. Bisa jadi Kukabulkan segera doamu. Bisa jadi Kutangguhkan permintaanmu dan Kuganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi juga Kuhindarkan dirimu dari bala yang lebih berat ketimbang bencana itu,’’” Lihat Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz I, halaman 76.Syekh Ibnu Abbad mengutip hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang dikasihi dan dicintai Allah adalah hamba-hamba-Nya yang diperkenankan untuk bermunajat kepada-Nya berlama-lama melalui pintu ujian dan cobaan. Allah menginginkan mereka yang menerima cobaan untuk sering-sering bagaimana dengan pengabulan doa dan permohonan dalam munajat kita? Lagi-lagi, kita tidak perlu khawatir. Allah takkan mengingkari dan menelantarkan hamba-Nya sebagai disinggung Syekh Syarqawi berikut عليه الصلاة والسلام من أعطى الدعاء لم يحرم الإجابة أى اما بعين المطلوب أو بغيره عاجلا أو آجلا قال بعضهم هذا اذا كان الدعاء صادرا عن اختيار وقصد أما اذا جرى على اللسان من غير قصد فان الاجابة بعين المطلوب لا تكاد تتخلفArtinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja yang dikaruniakan ibadah doa, maka ia takkan luput dari ijabah,’ baik ijabah atas hajat yang disebutkannya di dalam doa maupun ijabah atas hajat yang tidak disebutkan substitusi entah dalam waktu seketika atau ditangguhkan. Sebagian ulama memahami bahwa itu berlaku pada doa yang didasarkan pada saat orang memiliki pilihan dan disengaja. Untuk doa yang terlompat begitu saja dari mulut tanpa sengaja dan terencana, ijabah atas hajat yang terucap hampir-hampir tidak meleset dan tidak tertunda,” Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Daru Ihyail Kutub Al-Arabiyah, juz I, halaman 75.Penjelasan Syekh Syarqawi ini jelas bahwa doa pasti dikabulkan tetapi dalam tempo yang tidak bisa ditentukan dan dalam bentuk yang tidak bisa kita pastikan. Bisa jadi kita menunggu-tunggu pengabulan doa dan hajat kita, padahal Allah sudah kabulkan dalam bentuk yang lain. Ini juga yang kerap membuat kita berburuk sangka kepada samping itu, orang yang berdoa terbagi atas dua kondisi. Ada mereka yang sedang dalam kondisi lapang sehingga mereka berdoa dengan terencana. Tetapi ada orang yang bermunajat kepada Allah dalam kondisi darurat, terjepit, kepepet, sehingga mereka tidak lagi berdoa secara terencana. Mereka yang kepepet dan dalam kondisi darurat kerap diijabah Allah sesuai bentuk hajat yang mereka perlukan, yaitu mereka yang kelaparan, yang membutuhkan jaminan perlindungan dan keamanan, mereka yang membutuhkan hak hidup, mereka yang dalam kondisi sulit dan sempit lainnya. Doa atau munajat di sini bisa dalam bentuk ubudiyah semata penghambaan kepada Allah dan menganggap bahwa doa memang bagian dari ibadah. Tetapi ada juga mereka yang berdoa dan bermunajat kepada Allah karena spontanitas semata-mata lantaran kepepet dan tidak menemukan jalan lain yang memang tidak menganggap doa sebagai salah satu bentuk ibadah sebagaimana disinggung Syekh Zarruq Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 99. Wallahu alam. Alhafiz K Kejadianyang sangat terkait dengan adanya inovasi untuk membuat “tanda baca” dalam al-Qur’an berawal ketika khalifah Mu’awiyah bin Abi Sofyan (w. 60 H/679 M) mengirim surat kepada Ziyad bin Abihi [7] () yang merupakan Gubernur kota Bashrah agar mengutus puteranya, Ubaidullah, untuk mengahadap Mu’awiyah. Saat Mu’awiyah bertemu Ubaidillah, ia
JAKARTA - Allah memang menebarkan karunia dan nikmat kepada setiap hamba-Nya. Namun yang harus dimengerti, karunia dan nikmat lahir batin bukan saja melulu soal harta dan jodoh. Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah mengatakan “Mata razaqaka at-thaa’ata wal-ghina bihi anha, fa’lam annahu qad asbagha alaika ni’amahu zhaahiratan wa baathinatan." Yang artinya “Saat Allah menganugerahimu ketaatan dan engkau merasa cukup bersama-Nya dengan ketaatan itu, berarti Dia telah memberimu nikmat lahir dan batin." Dijelaskan, di saat Allah memberi seorang hamba rezeki kekuatan untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya secara lahir, maka seseorang itu tidak akan terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginannya. Melainkan hanya bergantung kepada Allah semata dan menyisihkan segala hal selain-Nya. Maka dengan begitu, seorang hamba harus mengetahui di saat itu Allah telah menganugerahkan segala karunia-Nya. Baik yang sifatnya berbentuk lahir seperti ketaatan, maupun yang sifatnya batin seperti makrifat yang mewajibkan seorang hamba mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya.
12sMkh.